Tantangan Keterampilan Sosial Anak Pada Masa Transisi PAUD ke SD
![](https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/s3pendidikandasar.pasca.unesa.ac.id/thumbnail/920aeab9-6cbf-4ad0-b689-0460b9a23fc0.jpg)
Transisi
anak dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ke Sekolah Dasar (SD) menjadi
perhatian penting di dunia pendidikan Indonesia. Masa transisi ini adalah momen
besar dalam hidup anak. Transisi ini bukan hanya sekedar perpindahan jenjang
pendidikan, tetapi juga melibatkan penyesuaian dalam cara belajar, interaksi
sosial, dan ekspetasi akademik. PAUD lebih berfokus pada pembelajaran berbasis
permainan dan pengembangan keterampilan dasar, sedangkan di SD, anak diharapkan
mampu mengikuti struktur pembelajaran yang lebih formal dan akademik. Hal ini
sering kali menimbulkan tantangan, terutama dalam hal kesiapan sosial dan
emosional anak. Oleh karena itu, isu transisi ini menjadi penting untuk dibahas
agar anak-anak dapat berkembang dengan baik dan menghadapi perubahan ini dengan
lebih percaya diri.
Peralihan
ini melibatkan adaptasi terhadap metode pembelajaran yang lebih terstruktur dan
ekspektasi akademik yang lebih tinggi. Urbanisasi, penggunaan teknologi yang
meningkat, dan tuntutan pendidikan kompleks sejak usia dini memperkuat urgensi
untuk memahami isu ini. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan lebih dari
40% anak usia dini di Indonesia kesulitan beradaptasi saat memasuki SD, yang
sering kali dipengaruhi oleh ketimpangan pendekatan pembelajaran di PAUD dan
SD, kurangnya stimulasi di rumah, serta dampak media digital yang tidak
terkontrol. Keterampilan sosial anak menjadi perhatian utama, mengingat
dampaknya yang signifikan terhadap perkembangan secara holistic sebagai kunci
untuk menentukan sejauh mana anak dapat menyesuaikan diri dan berkembang di
lingkungan baru.
Dampak
dari ketidaksiapan ini sangat beragam. Secara sosial, anak yang kurang memiliki
keterampilan berkomunikasi mungkin merasa sulit beradaptasi dengan teman-teman
barunya dengan dinamika kelas SD yang lebih besar. Secara sosial emosional,
mereka dapat mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya
karena kehilangan kepercayaan diri. Sementara itu, dari perspektif kebijakan,
kurangnya keselarasan antara kurikulum PAUD dan SD menciptakan kesenjangan
pendidikan dalam akses Pendidikan yang berkualitas.
Mengatasi
isu ini memerlukan pendekatan strategis. Sinkronisasi kurikulum antara PAUD dan
SD harus menjadi prioritas, dengan menambahkan elemen pembelajaran berbasis
proyek di kelas awal SD. Kedua, pelatihan khusus untuk guru PAUD dan SD
diperlukan agar lebih memahami serta mendukung kebutuhan transisi anak. Ketiga,
kolaborasi antara orang tua dan sekolah melalui program parenting menjadi
langkah penting dalam mendukung stimulasi keterampilan sosial Ketika di rumah.
Terakhir, pemanfaatan teknologi positif, seperti aplikasi edukatif interaktif,
dapat membantu anak mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
secara menyenangkan. Program intervensi dini yang fokus pada keterampilan
sosial juga dapat membantu anak-anak mempersiapkan diri lebih baik.
Dengan
kebijakan yang tepat, dukungan dari semua pihak, dan pelaksanaan program
intervensi yang menyeluruh, diharapkan masa transisi dari PAUD ke SD tidak lagi
menjadi hambatan, melainkan menjadi langkah awal yang kuat bagi anak-anak dalam
mengembangkan potensi mereka secara optimal. Anak-anak yang siap secara sosial
akan lebih percaya diri, mampu menjalin hubungan positif, dan siap menghadapi
tantangan di jenjang pendidikan berikutnya.
Penulis: Dessy Putri Wahyuningtyas