PERAN NEUROPSIKOLOGI DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS DAN REFLEKTIF DI ERA DIGITAL

Hasil Programme for
International Student Assessment (PISA) 2022 kembali menunjukkan realitas
kualitas pendidikan Indonesia yang masih perlu banyak perbaikan. Sebanyak 75%
siswa usia 15 tahun di Indonesia memiliki kemampuan membaca di bawah standar
(di bawah level 2 PISA), dan 82% siswa memiliki kemampuan numerasi yang juga di
bawah standar. Selain itu, lebih dari 99% siswa hanya mampu menjawab soal di
level 1-3 (Lower Order Thinking Skills/LOTS), sementara kurang dari 1%
mampu menyelesaikan soal di level 4-6 (Higher Order Thinking Skills/HOTS). Hal
ini mengindikasikan masih rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa serta
perlunya strategi pembelajaran yang lebih efektif.
Salah satu pendekatan
dalam proses belajar adalah dengan memahami peran neuropsikologi. Dalam webinar
berjudul "Peran Neuropsikologi dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir
Kritis dan Reflektif pada Peserta Didik di Era Digital", yang
berlangsung pada Kamis, 13 Maret 2025, Dr. Praptono, M.Ed., selaku Kepala Balai
Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Timur, menekankan pentingnya
neuropsikologi dalam dunia pendidikan. Beliau menjelaskan bahwa Neuropsikologi
memiliki peran penting dalam membantu memahami bagaimana otak berkembang serta
memproses informasi, yang pada akhirnya berkontribusi dalam meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dan reflektif. Oleh karena itu, metode
pembelajaran yang efektif harus dirancang dengan mempertimbangkan cara kerja
otak dalam mengolah informasi.
Penerapan
neuropsikologi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai strategi, salah
satunya adalah melalui teknologi pendidikan. Dr. Praptono menjelaskan bahwa
“Teknologi dapat digunakan untuk merangsang kognisi dan memperkuat keterampilan
berpikir kritis. Pembelajaran berbasis digital yang interaktif akan membantu
siswa lebih terlibat dalam proses berpikir dan pemecahan masalah.” Hal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran bukan sekadar alat
bantu, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan kapasitas berpikir siswa.
Selain itu, kebiasaan
dan kesehatan mental juga menjadi faktor penting dalam perkembangan otak.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Praptono, “Kebiasaan positif, seperti pola
tidur yang baik, asupan gizi yang cukup, serta lingkungan yang mendukung,
memiliki dampak besar terhadap kesehatan mental dan perkembangan otak anak.”
Prinsip dasar neuropsikologi menyatakan bahwa kebiasaan sehari-hari dapat
membentuk koneksi saraf yang berperan dalam fungsi kognitif, emosi, dan
perilaku anak. Oleh karena itu, pembentukan kebiasaan positif sejak dini akan
memberikan dampak jangka panjang dalam membentuk pola pikir yang lebih kritis
dan reflektif.
Implementasi
pembelajaran berbasis neuropsikologi dapat dilakukan melalui berbagai metode,
seperti diskusi kelompok, pemecahan masalah, dan analisis kasus. Dr. Praptono
menegaskan bahwa “Pembelajaran berbasis masalah dan refleksi aktif memungkinkan
siswa untuk menyusun kembali informasi dan mengevaluasi pemikiran mereka, yang
sangat penting untuk perkembangan berpikir kritis dan reflektif.” Dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengolah informasi dan merefleksikan
pengalaman belajarnya, mereka dapat mengembangkan keterampilan berpikir yang
lebih mandiri.
Dalam konteks nyata,
konsep 7 Kebiasaan Anak Hebat yang diperkenalkan dalam webinar dapat menjadi
strategi yang efektif dalam membangun kebiasaan positif di kalangan siswa.
Sebagai contoh, guru dapat mengajarkan siswa kebiasaan berpikir proaktif,
mengatur prioritas, dan bekerja sama dalam tim. “Kebiasaan ini tidak hanya
membantu dalam pengembangan keterampilan akademik, tetapi juga membentuk
karakter siswa agar lebih siap menghadapi tantangan di era digital,” ujar Dr.
Praptono.
Dengan demikian,
penerapan prinsip neuropsikologi dalam pendidikan menjadi semakin relevan dalam
menghadapi tantangan pendidikan di era digital. Teknologi dapat dimanfaatkan
untuk menciptakan pembelajaran yang lebih adaptif dan interaktif, sementara
peran guru sebagai fasilitator tetap menjadi kunci utama dalam membimbing siswa
berpikir lebih kritis dan reflektif. Kolaborasi antara pemangku kepentingan,
termasuk pemerintah, guru, dan orang tua, sangat diperlukan dalam menciptakan
lingkungan belajar yang optimal. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Praptono di
akhir sesi webinar, “Jika kita ingin mencetak generasi yang siap menghadapi
tantangan masa depan, maka kita harus mulai dengan membangun pola pikir yang
kuat dan reflektif sejak dini.”
"Neuropsikologi
membuka jalan bagi pendidikan yang lebih bermakna bukan sekadar menghafal,
tetapi memahami, menganalisis, dan merefleksikan."
*) Penulis: Desi Eka
Pratiwi, Mahasiswa S3 Pendidikan Dasar 2024C, Universitas Negeri Surabaya.
Sumber Gambar: istock