Polemik Penghapusan Zonasi Sekolah di Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Pendidikan yang Merata
![](https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/s3pendidikandasar.pasca.unesa.ac.id/thumbnail/4e136c86-07a0-40d5-89f7-4fe4771bd88d.jpg)
Sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) dekat dengan tempat tinggal memungkinkan siswa bersekolah dengan bersepeda, jalan kaki untuk menghemat waktu dan biaya.
Akhir-akhir ini, pernyataan Wakil
Presiden RI, Gibran Rakabumi Raka, mengenai rencana penghapusan sistem zonasi
sekolah telah memicu perdebatan hangat di masyarakat. Isu ini sangat relevan
dan penting untuk dibahas, mengingat dampaknya yang luas terhadap sistem
pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ada orang tua yang merasa bahwa zonasi
menyingkirkan siswa berprestasi demi memberikan kesempatan kepada siswa dengan
nilai pas-pasan di sekolah favorit. Di sisi lain, ada juga orang tua yang
mendukung zonasi karena memberikan akses yang lebih dekat ke sekolah bagi
anak-anak mereka. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi dampak,
prospek, dan perspektif yang perlu diperhatikan dalam diskusi mengenai penghapusan
zonasi sekolah.
Latar belakang isu ini berakar dari
ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada. Faktor-faktor
yang menyebabkan tren ini muncul antara lain minimnya sekolah dengan fasilitas
memadai dan guru yang berkualitas, terutama di kota-kota besar. Banyak orang
tua yang merasa terpaksa memanipulasi data alamat agar anak mereka diterima di
sekolah favorit. Akibatnya, muncul dampak negatif seperti ketidakadilan akses
pendidikan dan meningkatnya kecemasan di kalangan orang tua. Namun, ada juga
dampak positif dari zonasi, yakni memaksa sekolah untuk meningkatkan mutu
pendidikan secara keseluruhan demi menarik minat siswa.
Dampak dari isu ini mencakup berbagai
bidang, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Secara sosial, ketegangan antara
orang tua yang mendukung dan menolak zonasi dapat menciptakan polarisasi dalam
masyarakat. Secara ekonomi, penghapusan zonasi dapat meningkatkan biaya
transportasi bagi siswa yang harus berpindah sekolah jauh dari rumah. Dari
perspektif politik, keputusan untuk menghapus zonasi dapat mempengaruhi
kebijakan pendidikan di masa depan dan menciptakan peluang bagi perubahan
struktural dalam sistem pendidikan nasional. Sebagai contoh konkret, ada banyak
siswa yang terpaksa menghabiskan waktu dan biaya lebih untuk mencapai sekolah
yang jauh jika zonasi dihapuskan.
Dalam menghadapi polemik ini, ada
beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan. Salah satunya adalah mempertahankan
kebijakan zonasi tetapi mengubah kuota penerimaan siswa dari 50% menjadi 35%.
Kuota sisanya dapat diisi oleh siswa dari luar zonasi berdasarkan prestasi
akademik, prestasi non akademik dan afirmasi. Langkah ini akan menciptakan
keseimbangan antara memberikan akses kepada siswa di sekitar sekolah dan
memberi kesempatan kepada siswa berprestasi dari luar zona. Selain itu,
pemerintah perlu meningkatkan kualitas sekolah-sekolah di daerah dengan
menyediakan fasilitas yang memadai dan melatih guru untuk memberikan pendidikan
yang menarik.
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah
pentingnya pendekatan yang bijak dalam mengambil keputusan terkait penghapusan
zonasi. Tindakan yang harus diambil termasuk memperhatikan aspirasi orang tua
dan siswa, serta memastikan bahwa setiap anak memiliki akses yang adil terhadap
pendidikan berkualitas. Harapan kita adalah terciptanya sistem pendidikan yang
tidak hanya merata, tetapi juga mampu memenuhi potensi setiap siswa tanpa
memandang latar belakang mereka. Dengan langkah-langkah yang tepat, kita dapat
menciptakan masa depan pendidikan yang lebih baik di Indonesia.
Penulis: Dewi Komalasari