Fenomena Merekam Mem-viralkan Aksi Perundungan di Media Sosial
![](https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/s3pendidikandasar.pasca.unesa.ac.id/thumbnail/70e17480-1027-46b2-a5fa-044c43118056.jpg)
Globalisasi adalah bentuk adanya dunia
dalam genggaman. Semua informasi di belahan dunia manapun bisa diakses dalam
waktu yang sama tanpa berbatas jarak. Di satu sisi hal ini menjadi sebuah
kemudahan, karena segala bentuk perubahan dapat diikuti secara cepat dan tepat.
Namun sebagaimana 2 sisi mata uang, maka ada beberapa hal yang justru
memberikan dampak negatif jika berada dalam genggaaman anak-anak atau remaja
yang belum bijak dalam bermedia sosial. Hal ini juga berlaku manakala hampir
semua anak delam berbagai tahapan perkembangan juga bisa mengakses media
social.
Salah satu fenomena yang terjadi dan
membutuhkan kajian lebih dalam adalah kemampuan anak dan dan remaja dalam
menggunakan gawai untuk merekam segala kejadian sekaligus mengunggahnya di media
sosial. Apabila kita menggunakan search
angine chrome atau youtube atau tiktok, dan sejenisnya dengan key word viral bully, maka kita akan
melihat ratusan video yang menunjukkan aktivitas perundungan, utamanya
kekerasan fisik. Baik yang dilakukan anak atau remaja kepada sesamanya, orang
dewasa kepada anak atau remaja, maupun orang dewasa pada orang dewasa.
Hal yang melatarbelakangi maraknya
akun-akun dalam menyebarluaskan perilaku perundungan adalah keinginan untuk
menjadi orang pertama yang memiliki informasi penting untuk bisa membantu orang
lain, jika masalah tersebut belum tertanagni. Ada pula yang memiliki rasa
bangga karena unggul dari yang lain dengan cara menindas. Fenomena ini bahkan
mengalahkan sikap utama untuk membantu korban perundungan dengan lebih cepat di
lokasi terjadinya perundungan. Alih-alih menolong, mereka malah lebih suka
mendokumentasikannya dalam video.
Beberapa media sosial mempublikasikan
adegan kekerasan tersebut tanpa sesnsor. Untuk beberapa media massa elektronik
masih ada yang menggunakan gambar blur untuk menyamarkan wajah tokoh namun
tidak menyamarkan adegan. Sisi baik dari fenomena ini adalah, apabila kasus
tersebut belum mendapatkan tindakan hukum maka korban perundungan merasa
terbantu untuk mendapatkan keadilan. Warga net Indonesia memiliki empati yang
cukup tinggi untuk bisa mengawal kasus-kasus tersebut sampai mendapatkan
keadilan. Namun apakah ini tidak memiliki dampak negatif?
Beberapa video beredar tanpa sensor juga
memiliki dampak negatif bagi anak dan remaja yang tidak memiliki kematangan
jiwa. Utamanya yang berasal dari keluarga kurang memberikan keteladanan.
Sehingga beberapa anak memiliki potensi dan bahkan meniru perilaku perundungan
tersebut pada teman sebaya atau yang lebih lemah. Tayangan tersebut menjadi
tontonan yag bisa ditiru oleh setiap orang terutama anak dan remaja. Penggunaan
media sosial yang tidak terkontrol dapat menimbulkan dampak perundungan secara
cyber. Hal ini disebabkan usia remaja mengalami ambivalensi terkait dengan
pencarian jadi dirinya dan keinginan mengeskplor dunia luar serta mencari model
yang menjadi idola (Kircaburun et al., 2018).
Dari sisi korban, perlakuan teman atau orang
sekitar yang enggan menolong para korban perundungan memiliki dampak
tersendiri. Dia akan merasa bahwa teman-temannya tidak memilikiempati sehingga
membiarkannya tanpa pertolongan saat mendapat perlakuan buruk dalam bentuk
kekerasan fisik. Terlebih jika ada yang merekamnya. Hal ini akan menyebabkan
terganggunya efikasi diri korban yang mempengaruhi rasa percaya diri dan
motivasinya.
Melihat fenomena tersebut maka perlu adanya
penanaman karakter empati pada anak dan remaja. Pendidikan ini bisa diampu pada
sekolah dan keluarga dengan spesifikasi bahwa korban perundungan adalah yang
utama untuk dibantu, bukan merekamnya. Memastikan bahwa setiap tayangan yang
didapati anak dan remaja tidak selalu bisa dijadikan teladan. Hal-hal viral
bagi Sebagian anak merupakan obsesi. Karena hal viral yang dilakuakn akan
mendapatkan perhatian dari banyak warganet. Bentuk perhatian apapun menjadi
yang diterima merupakan perhatian bagi anak atau remaja yang memiliki latar
belakang kurang perhatian.
Dari sisi komunikasi, pemerintah harus
sudah mulai membatasi penggunaan media sosial bagi anak dan remaja.
Mengedepankan kasus viral melalui berita dan bukan tayang video. Dari sisi
jurnalistik juga bisa memberikan pemberitaan berimbang dari para konselor atau
psikolog terhadap dampak yang dialami oleh pelaku perundungan maupun korbannya.
Sehingga ada Batasan moral yang diberikan oleh media sosial terhadap anak dan
remaja dalam menyerap sebuah informasi.
Penulis: Lina Kamalin
Sumber Gambar: iStock